Marital rape merupakan tindak kekerasan yang
terjadi di dalam keluarga, yaitu tindak kekerasan seksual suami terhadap istri.
Bentuk kekerasan yang dijadikan batasan pembahasan ini adalah hubungan seksual
yang tidak dikehendaki istri karena ketidaksiapan istri, baik fisik atau psikis
karena mungkin istri dalam kondisi yang lelah ataupun yang lainnya sehingga
mengakibatkan sakit pada istri.
Marital rape sempat direncanakan agar masuk
dalam rancangan KUHP pada tahun 2000.
Namun yang terjadi pada saat itu timbul berbagai pendapat yang pro maupun
kontra. Quraish Shihab mengemukakan pendapatnya, bahwa pemerkosaan itu haram
hukumnya di dalam islam, walaupun dilakukan terhadap istrinya. Dalam agama
islam, istri memang berkewajiban turut pada perintah suami. Tapi kalau
permintaan dan perintah suami itu melanggar norma agama seperti minta hubungan
seksual ketika masa nifas, terlarang hukumnya atas nama agama bagi istri untuk
menuruti perintah suaminya. Istri mempunyai hak untuk mengadukan pada hakim
atas perbuatan suaminya itu. Meski tidak menolak kenyataan bahwa pemerkosaan
terhadap istri masih terjadi, Quraish Shihab cenderung tidak setuju jika
marital rape dimasukan dalam sebuah pasal tersendiri di KUHP. Pemerintah
Indonesia akhirnya menetapkan peraturan yang terdapat pada UU No. 23 Tahun 2004
Bab III pasal 5 tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga yang
mengkategorikan marital rape sebagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami
atau sebaliknya.
Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan. Seperti yang tercantum dalam sila kelima Pancasila
yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu setiap
orang berhak mendapat kepastian hukum. Berbagai masalah yang melanggar hukum
diantaranya pedofilia dan pelecehan seksual lainnya sudah jelas diatur dalam
KUHP. Pedofilia adalah kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang melibatkan
anak di bawah umur. Orang dengan pedofilia umurnya harus di atas 16 tahun, sedangkan
anak-anak yang menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas).
Dikatakan pedofilia jika
seseorang memiliki kecenderungan impuls seks terhadap anak dan fantasi maupun
kelainan seks tersebut mengganggu si anak. Jadi bisa dikatakan sebagai suatu kompensasi
dari penyaluran nafsu seksual yang tidak dapat disalurkan pada orang dewasa. Kebanyakan
penderita pedofilia menjadi korban pelecehan seksual pada masa kanak-kanak.
Kejahatan yang menyangkut kesusilaan
khususnya kejahatan persetubuhan yang dilakukan terhadap anak di
bawah umur telah diatur dalam KUHP yang terdapat dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP
yang berbunyi “Barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar
perkawinan padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum
lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk
dikawini, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
Kesimpulan:
Pemerintah Indonesia sudah membuat produk hukum
yang tertuang dalam KUHP maupun UU yang mengatur dan menindak tegas kejahatan
mengenai pelecehan seksual. Untuk menindak tegas kejahatan mengenai pelecehan
seksual yang menjadi fokus utama tidak hanya kejahatan yang dilakukan akan
tetapi dampak yang timbul sehingga mengganggu psikologis korban. Pemerintah
Indonesia mendirikan lembaga khusus anak yakni Komnas Perlindungan Anak yang
berfungsi untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari tindakan kekerasan
fisik, psikologis, maupun seksual. Berbagai upaya telah dilakukan oleh
pemerintah untuk menekan bahkan mencegah kejahatan mengenai seksual melalui
aturan hukum. Diperlukan dukungan dan partisipasi masyarakat diantaranya para
pemuka agama untuk memberikan pemahaman tentang ilmu keagamaan supaya masyarakat
dapat membatasi diri dari perbuatan tercela sehingga tak terjadi lagi kasus
marital rape, pedofilia dan pelecehan seksual lainnya.